BAB I
PENDAHULUAN
Latar belakang masalah
Tahun-tahun terakhir ini semakin banyak orang
menyadari bahwa politik merupakan hal yang melekat pada lingkungan hidup
manusia. Politik hadir di mana-mana, di sekitar kita. Sadar atau tidak, mau
atau tidak, politik ikut mempengaruhi kehidupan kita sebagai individu maupun
sebagai bagian dari kelompok masyarakat, demikian halnya dalam kehidupan
kekristenan kita. Hal itu berlangsung sejak kelahiran sampai dengan kematian,
tidak peduli apakah kita ikut mempengaruhi proses politik atau tidak? Karena
politik mempengaruhi kehidupan semua orang maka Aristoteles pernah mengatakan,
politik merupakan master of science. Maksudnya bukan dalam arti ilmu pengetahuan
(scientific), tetapi ia menganggap, pengetahuan tentang politik merupakan kunci
untuk memahami lingkungan. Bagi Aristoteles, dimensi politik dalam keberadaan
manusia merupakan dimensi terpenting sebab ia mempengaruhi lingkungan lain
dalam kehidupan manusia. Bagi Aristoteles, politik berarti mengatur apa yang
seharusnya kita lakukan dan apa yang seharusnya tidak dilakukan. Penjelasan ini
menyadarkan kita akan pentingnya mempelajari politik.
Rumusan
masalah
-
Apa sebenarnya politik itu?
-
Apa peran politik dalam kekristenan?
-
Bagaimana pandangan Kristen terhadap
politik?
-
Bagaimana jika ada hamba Tuhan yang ikut
dalam politik praktis?
Tujuan penulisan
-
Sebagai pemenuhan tugas Agama,
-
Untuk mengetahui apa itu politik dan;
-
Untuk mengetahui pantas atau tidaknya seorang
hamba Tuhan berpolitik praktis.
BAB
II
LANDASAN
TEORI
Dari berbagai kepustakaan ilmu politik disimpulkan
ada tiga cara yang pernah digunakan untuk menjelaskan pengertian politik.
Pertama, mengidentifikasikan kategori-kategori aktivitas yang membentuk
politik. Dalam hal ini, Paul Conn menganggap konflik sebagai esensi politik.
Kedua, menyusun suatu rumusan yang dapat merangkum apa saja yang dapat
dikategorikan sebagai politik. Dalam kaitan ini, Harold Lasswell merumuskan
politik sebagai "siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana".
Dari pemahaman kita tentang politik tersebut,
setidaknya ada tujuh istilah yang selalu diperhadapkan pada kita sebagai umat
kristen, yakni interaksi, pemerintah, masyarakat, proses pembuatan dan
pelaksanaan keputusan, yang mengikat, kebaikan bersama dan wilayah tertentu.
Ketujuh hal tersebut jika kita melihat pada sejarah pemikiran politik umat
Kristen Indonesia yang sudah muncul sejak zaman pergerakan nasional. Kesadaran
politik atau interaksi umat Kristen pada masa awal itu umumnya lemah akibat
pembinaan Zending, yang umumnya menjauhi politik (antara lain) karena alasan
teologis (pengaruh Pietisme). Tokoh-tokoh Kristen yang berpolitik dalam partai
Kristen tidak lagi terikat kepada teokrasi formal, melainkan yang substansial.
Setelah pengalaman panjang konflik gereja dan negara pada Abad-abad
Pertengahan, dan oleh pengaruh Revolusi Perancis, gereja mengalami apa yang
disebut pemisahan agama dan negara, sehingga perjuangan politik Kristen lebih
bersifat umum dan terbuka. Artinya prinsip-prinsip Kristen dalam urusan
politik, ideologi atau kenegaraan lebih menekankan esensi pemberlakuan kehendak
Allah dalam lapangan politik, daripada bingkai formalnya.
Dan ketika seorang hamba Tuhan ikut berpolitik
praktis, ketika seorang hamba Tuhan (Pendeta) mencalonkan diri sebagai seorang caleg,
maka itu merupakan sebuah kegagalan, kegagalan gereja di Indonesia karena
yang menjadi Tujuannya yaitu melayani umat Tuhan akan berubah menjadi
masyarakat luas.
BAB
III
ISI
Pengertian politik
Awal hingga perkembangan yang terakhir ada
sekurang-kurangnya lima pandangan mengenai politik. Pertama, politik ialah
usaha-usaha yang ditempuh warga negara untuk membicarakan dan mewujudkan
kebaikan bersama. Kedua, politik ialah segala hal yang berkaitan dengan
penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Ketiga, politik sebagai segala
kegiatan yang diarahkan untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam
masyarakat. Keempat, politik sebagai kegiatan yang berkaitan dengan perumusan
dan pelaksanaan kebijakan umum. Kelima, politik sebagai konflik dalam rangka
mencari dan/atau mempertahankan sumber – sumber yang dianggap penting.
1.
Sebagaimana dikemukakan Aristoteles, pandangan klasik
melihat politik sebagai suatu asosiasi warga negara yang berfungsi membicarakan
dan menyelenggarakan hal ihwal yang menyangkut kebaikan bersama seluruh anggota
masyarakat. Filosof ini membedakan urusan-urusan yang menyangkut kebaikan
bersama (kepentingan publik) dengan urusan-urusan yang menyangkut kepentingan
individu atau kelompok masyarakat (swasta). Pada hemat Aristoteles,
urusan-urusan yang menyangkut kebaikan bersama memiliki nilai moral yang lebih
tinggi daripada urusan-urusan yang menyangkut kepentingan swasta. Menurut
Aristoteles, manusia merupakan makhluk politik dan sudah menjadi hakikat
manusia untuk hidup dalam polis . Hanya dalam polis itu manusia dapat
memperoleh sifat moral yang paling tinggi, karena di sana urusan-urusan yang
berkenaan dengan seluruh masyarakat akan dibicarakan dan diperdebatkan, dan
tindakan-tindakan untuk mewujudkan kebaikan bersama akan diambil. Di luar polis
manusia dipandang sebagai makhluk yang berderajat di bawah manusia seperti binatang
atau sebagai makhluk yang berderajat di atas manusia seperti Dewa atau Tuhan. Rumusan
kepentingan umum yang dikemukakan oleh para sarjana sangat bervariasi. Sebagian
orang mengatakan kepentingan umum merupakan tujuan-tujuan moral atau
nilai-nilai ideal yang bersifat abstrak seperti keadilan, kebajikan,
kebahagiaan, dan kebenaran. Sebagian lagi merumuskan kepentingan umum sebagai
keinginan orang banyak sehingga mereka membedakan general will (keinginan orang
banyak atau kepentingan umum) dari will of all (keinginan banyak orang atau kumpulan
keinginan banyak orang). Suatu hal yang
patut mendapatkan perhatian dari pandangan klasik berupa penekanan yang
diberikan pada "apa yang, seharusnya" dicapai demi kebaikan bersama
seluruh warga negara polis dan "dengan cara apa sebaiknya"
tujuan-tujuan itu dicapai. Dengan kata lain, pandangan klasik lebih menekankan
aspek filosofis (idea dan etik) daripada aspek politik. Dalam pengertian
politik terkandung tujuan dan etik masyarakat yang jelas. Berpolitik ialah
membicarakan dan merumuskan tujuan-tujuan yang hendak dicapai dan ikut serta
dalam upaya mengejar tujuan bersama. Barangkali aspek filosofis ini yang
merupakan kelebihan, dan karena itu menjadi ciri khas pandangan klasik. Dalam
hal ini, aspek filosofis lebih ditekankan daripada aspek politik. Oleh karena
itu, metode kajian yang digunakan bukan empirisme, melainkan metode spekulatif-normatif.
2.
Kelembagaan
Pandangan ini melihat politik sebagai hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan
negara. Dalam hal ini, Max Weber merumuskan negara sebagai komunitas manusia
yang secara sukses memonopoli penggunaan paksaan fisik yang sah dalam wilayah
tertentu.
Negara dipandang sebagai sumber utama hak untuk menggunakan paksaan fisik yang
sah. Oleh karena itu, politik bagi Weber merupakan persaingan untuk membagi
kekuasaan atau persaingan untuk mempengaruhi pembagian kekuasaan antar negara
maupun antar kelompok di dalam suatu negara. Menurutnya, negara merupakan suatu
struktur administrasi atau organisasi yang kongkret, dan dia membatasi
pengertian negara semata-mata sebagai paksaan fisik yang digunakan untuk
memaksakan ketaatan. Berdasarkan pendapat Weber tersebut disimpulkan tiga aspek
sebagai ciri negara, yaitu :
Berbagai struktur yang mempunyai fungsi yang berbeda, seperti jabatan, peranan,
dan lembaga-lembaga, yang semuanya memiliki tugas yang jelas batasnya, yang
bersifat kompleks, formal dan permanen.
·
Kekuasaan untuk menggunakan paksaan dimonopoli
oleh negara. Negara memiliki kewenangan yang sah untuk membuat putusan yang
final dan mengikat seluruh warga negara. Para pejabatnya mempunyai hak untuk
menegakkan putusan itu seperti menjatuhkan hukuman dan menanggalkan hak milik.
Dalam hal ini, untuk melaksanakan kewenangan maka negara menggunakan aparatnya,
seperti polisi, militer, jaksa, hakim, dan petugas lembaga pemasyarakatan.
·
Kewenangan untuk menggunakan paksaan fisik hanya
berlaku dalam batas-batas wilayah negara tersebut.
Akan tetapi, pada tahun 1980-an sejumlah ilmuwan politik
Amerika Serikat kembali menjadikan negara sebagai fokus kajian. Mereka
memandang negara tidak lagi sekadar arena persaingan kepentingan di antara
berbagai kepentingan dalam masyarakat, tetapi juga sebagai lembaga yang
memiliki otonomi (terlepas dari pengaruh masyarakat), dan memiliki kemampuan
(yang melaksanakan kebijaksanaan yang dibuat sendiri). Negara dilihat sebagai
lembaga yang memiliki kepentingan yang berbeda dari berbagai kepentingan yang
bersaingan atau bertentangan dalam masyarakat. Pandangan ini disebut juga
sebagai statist perspective (perspektif negara).
3.
Kekuasaan
Pandangan ketiga melihat politik sebagai kegiatan mencari dan mempertahankan
kekuasaan dalam masyarakat. Oleh karena itu, ilmu politik dirumuskan sebagai
ilmu yang mempelajari hakikat, kedudukan, dan penggunaan kekuasaan di manapun
kekuasaan itu ditemukan. Robson merupakan salah seorang yang mengembangkan
pandangan tentang kekuasaan ini. Dirumuskan, ilmu politik sebagai ilmu yang
memusatkan perhatian pada perjuangan untuk memperoleh dan mempertahankan
kekuasaan, melaksanakan kekuasaan, mempengaruhi pihak lain, ataupun menentang
pelaksanaan kekuasaan. Ilmu politik mempelajari hal ihwal yang berkaitan dengan
kekuasaan dalam masyarakat, yakni sifat, hakikat, dasar, proses- proses, ruang
lingkup, dan hasil-hasil kekuasaan. Yang menjadi pertanyaan, apakah yang
dimaksud dengan kekuasaan? Menurut pandangan ini, kekuasaan merupakan kemampuan
mempengaruhi pihak lain untuk berpikir dan berperilaku sesuai dengan kehendak
yang mempengaruhi. Kekuasaan dilihat sebagai interaksi antara pihak yang
mempengaruhi dan dipengaruhi, atau yang satu mempengaruhi dan yang lain
mematuhi. Hubungan ini selalu diamati dan dipelajari oleh ilmuwan politik yang mengikuti
pandangan ketiga ini. Konsep politik sebagai perjuangan mencari dan
mempertahankan kekuasaan juga memiliki sejumlah kelemahan. Pertama,
konseptualisasi tersebut tidak membedakan kekuasaan yang beraspek politik dari
kekuasaan yang tidak beraspek politik. Misalnya, kemampuan para kiai atau
pendeta untuk mempengaruhi jemaah agar melaksanakan ajaran agama tidaklah
beraspek politik. Hal itu karena tidak berkaitan dengan pemerintah selaku
pemegang kewenangan yang mendistribusikan nilai-nilai, melainkan menyangkut
lingkungan masyarakat yang lebih terbatas. Namun, apabila konseptualisasi di
atas diikuti maka kemampuan para pemimpin agama untuk mempengaruhi cara
berpikir dan perilaku anggota jemaah, termasuk dalam kategori kegiatan politik.
Kedua, kekuasaan hanya salah satu konsep dalam ilmu politik. Selain kekuasaan,
ilmu politik masih memiliki konsep-konsep yang lain, seperti kewenangan,
legitimasi, konflik, konsensus, kebijakan umum, integrasi politik, dan
ideologi. Jadi, politik sebagai kegiatan mencari dan mempertahankan kekuasaan
merupakan konseptualisasi yang terlalu luas dan kurang tajam. Walaupun demikian
harus dicatat konsep kekuasaan politik merupakan salah satu konsep yang tak terpisahkan
dari ilmu politik.
4.
Fungsionalisme
Fungsionalisme memandang politik sebagai kegiatan merumuskan dan melaksanakan
kebijakan umum. Menyimpang dari pandangan kelembagaan di atas, dewasa ini para
ilmuwan politik memandang politik dari kacamata fungsional. Menurut mereka,
politik merupakan kegiatan para elit politik dalam membuat dan melaksanakan
kebijakan umum. Di antara ilmuwan politik yang menggunakan kacamata fungsional
dalam mempelajari gejala politik ialah David Easton dan Harold Lasswell. Easton
merumuskan politik sebagai The authoritative allocation of values for a
society, atau alokasi nilai-nilai secara otoritatif, berdasarkan kewenangan,
dan karena itu mengikat untuk suatu masyarakat. Oleh karena itu, yang
digolongkan sebagai perilaku politik berupa setiap kegiatan yang mempengaruhi
(mendukung, mengubah, menantang) proses pembagian dan penjatahan nilai-nilai
dalam masyarakat. Kelemahan pandangan ini adalah menempatkan pemerintah sebagai
sarana dan wasit terhadap persaingan di antara berbagai kekuatan politik untuk
mendapatkan nilai-nilai yang terbanyak dari kebijakan umum. Fungsionalisme
mengabaikan kenyataan bahwa pemerintah juga memiliki kepentingan sendiri, baik
berupa kepentingan yang melekat pada lembaga pemerintah (yang mewakili
kepentingan umum) maupun kepentingan para elit yang memegang jabatan (melaksanakan
peranan).
5.
Konflik
Menurut pandangan ini, kegiatan untuk mempengaruhi proses perumusan dan
pelaksanaan kebijakan umum tiada lain sebagai upaya untuk mendapatkan dan/atau
mempertahankan nilai-nilai. Dalam memperjuangkan upaya itu seringkali terjadi
perbedaan pendapat, perdebatan, persaingan, bahkan pertentangan yang bersifat
fisik di antara berbagai pihak. Dalam hal ini antara pihak yang berupaya
mendapatkan nilai-nilai dan mereka yang berupaya keras mempertahankan apa yang
selama ini telah mereka dapatkan, antara : pihak yang sama-sama berupaya keras
untuk mendapatkan nilai-nilai yang sama dan pihak yang sama-sama mempertahankan
nilai-nilai yang selama ini mereka kuasai. Perbedaan pendapat, perdebatan,
persaingan, bahkan pertentangan dan perebutan dalam upaya mendapatkan dan/atau
mempertahankan nilai-nilai disebut konflik. Oleh karena itu. menurut pandangan
konflik, pada dasamya politik adalah konflik. Pandangan ini ada benamya sebab
konflik merupakan gejala yang serba-hadir dalam masyarakat, termasuk dalam
proses politik. Selain itu, konflik merupakan gejala yang melekat dalam setiap
proses politik. Akan tetapi,
konseptualisasi ini tidak seluruhnya tepat. Hal itu disebabkan, selain konflik,
konsensus, kerja sama, dan integrasi juga terjadi dalam hampir semua proses
politik. Perbedaan pendapat, perdebatan, persaingan, dan pertentangan untuk
mendapatkan dan/atau mempertahankan nilai-nilai itu justru diselesaikan melalui
proses dialog sehingga sampai pada suatu konsensus maupun diselesaikan lewat
kesepakatan dalam bentuk keputusan politik yang merupakan pembagian dan
penjatahan nilai-nilai. Oleh karena itu, keputusan politik merupakan upaya
penyelesaian konflik politik. Dengan memperhatikan kepada kelima konsep tentang
politik tersebut, dapat dirumuskan suatu konsep yang lebih komprehensif.
Politik adalah interaksi antara pemerintah dan masyarakat, dalam rangka proses
pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang mengikat tentang kebaikan bersama
masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu.
Kekristenan dalam hidup berpolitik
Dari pemahaman kita tentang politik tersebut,
setidaknya ada tujuh istilah yang selalu diperhadapkan pada kita sebagai umat
kristen, yakni interaksi, pemerintah, masyarakat, proses pembuatan dan pelaksanaan
keputusan, yang mengikat, kebaikan bersama dan wilayah tertentu. Ketujuh hal
tersebut jika kita melihat pada sejarah pemikiran politik umat Kristen
Indonesia yang sudah muncul sejak zaman pergerakan nasional. Kesadaran politik
atau interaksi umat Kristen pada masa awal itu umumnya lemah akibat pembinaan
Zending, yang umumnya menjauhi politik (antara lain) karena alasan teologis
(pengaruh Pietisme). Tokoh-tokoh Kristen yang berpolitik dalam partai Kristen
tidak lagi terikat kepada teokrasi formal, melainkan yang substansial. Setelah
pengalaman panjang konflik gereja dan negara pada Abad-abad Pertengahan, dan
oleh pengaruh Revolusi Perancis, gereja mengalami apa yang disebut pemisahan
agama dan negara, sehingga perjuangan politik Kristen lebih bersifat umum dan
terbuka. Artinya prinsip-prinsip Kristen dalam urusan politik, ideologi atau
kenegaraan lebih menekankan esensi pemberlakuan kehendak Allah dalam lapangan
politik, daripada bingkai formalnya.
Dari Alkitab, pemikiran politik Kristen mewarisi prinsip-prinsip kenabian
mengenai panggilan penguasa untuk menegakkan keadilan dan memajukan
kesejahteraan rakyat, terutama dengan memihak rakyat tertindas (orang miskin,
janda, anak yatim dan orang asing; lihat antara lain Mazmur 72; Yesaya 11:1-10.
Yesus Kristus mengajar murid-muridnya mengenai pola yang benar dalam menyandang
kekuasaan, bahwa bukannya memerintah dengan tangan besi melainkan melayani
(Markus 10: 42-45 dps); juga tentang kewajiban kepada pemerintah di samping dan
di bawah ketaatan kepada Allah (Matius 22: 15-22 band. 1 Petrus 2: 17); dan
tentang adanya kekuasaan yang bukan dan yang lain dari kekuasaan dunia ini dan
melampaui (Yohanes 16: 36). Para rasul mengajarkan tentang tunduk kepada
pemerintah (Roma 13:1 dan seterusnya) dan mendoakan para penguasa (I Timotius
2: 1). Tetapi, gereja-gereja tidak sepenuhnya setia kepada panggilan profetis
nya, terutama karena kecemasan terhadap dominasi pihak-pihak lain.
Gereja baru sesekali bicara kalau langsung
menyangkut kepentingannya. Gereja mengamankan diri dalam kemitraan submissive
dengan pemerintah, bukan mengembangkan kemitraan profetis. Maka, untuk berkerja
sama dengan semua golongan agama dalam panggilan profetis terhadap kekuasaan,
gereja perlu melakukan pertobatan, berbalik dari jalan yang ditempuhnya selama
ini. Karena sesuai dengan pemahaman kita tentang politik, gereja dan umat
kristen diharapkan dapat berperan aktif dalam rangka proses pembuatan dan
pelaksanaan keputusan yang mengikat tentang kebaikan bersama masyarakat bukan
baru sesekali bicara kalau langsung menyangkut kepentingannya.
Bagaimana umat Kristen menyikapi kehidupan politik di Indonesia
Pembicaraan mengenai kehidupan politik bagi umat
kristen tentunya diperhadapkan pada kemajemukan baik suku, agama-agama dan ras
di Indonesia biasanya berlangsung dalam konteks kerukunan. Ada yang mengartikan
kerukunan beragama sebagai "kerukunan di antara agama-agama", tetapi
ada juga yang melihatnya sebagai "kerukunan di antara umat beragama".
Hal terakhir ini mengasumsikan bahwa penganut agama yang satu dengan penganut
agama yang lain bisa saling rukun, tetapi belum tentu sehubungan dengan agama
yang satu dengan agama yang lain. Dapat saja ada anggapan, bahwa antara agama
yang satu dengan yang lain pada hakikatnya terdapat pertentangan atau bahkan
konflik yang tidak mungkin dapat dipertemukan.
Kalau pemahaman yang terakhir ini diikuti, maka jalan keluar yang dilihat untuk
menjamin mulusnya kerukunan beragama dicari di luar tubuh agama. Di Indonesia,
kita sudah terbiasa untuk mengalaskan kerukunan beragama ini pada
perangkat-perangkat yang disediakan oleh negara atau pemerintah. Pancasila dan
UUD 1945 kerapkali dijadikan dasar pergumulan agar orang Kristiani dapat hidup
dengan layak di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Kenyataan bahwa Indonesia
memiliki sebuah ideologi negara dan UUD yang diharapkan dapat merukunkan
penganut agama-agama di dalamnya, perlu disyukuri, mengingat banyak
negara-negara (bahkan yang sudah maju sekalipun!) yang tidak memikirkan faktor
kemajemukan agama sebagai sesuatu yang menentukan dalam perjalanan hidup suatu
bangsa. Bahkan di tengah-tengah kegelisahan umat Kristiani dan umat-umat
"kecil" lainnya, bahwa sekarang ini terdapat usaha-usaha yang
cenderung untuk memprioritaskan umat tertentu dengan alasan "proporsionalitas".
Nampaknya, prinsip di atas bahwa Pancasila dan UUD 1945 memenuhi untuk
memungkinkan kerukunan beragama tetap tidak diragu-ragukan. Yang menarik adalah
pandangan sebagian orang lagi bahwa dasar untuk kerukunan beragama dapat
dilihat pada kesamaan keprihatinan dan pergumulan kemanusiaan dari setiap
penganut agama. Pembicaraan seperti ini biasanya berlangsung dalam rangka
dialog antaragama. Karena itu kita membicarakannya secara tersendiri, dan pada
akhirnya mempertanyakan apakah dasar itu sudah cukup?
Dasar Teologis Bagi Kehidupan Kristiani dalam Masyarakat Keagamaan yang
Bersifat Majemuk
Sebenarnya, dasar teologis tidak harus dicari hanya di dalam Alkitab, tetapi
juga dari tradisi gereja. Ada para Bapa gereja, misalnya Irenaeus, yang
berpendapat, bahwa Allah adalah Pencipta yang demikian mengasihi, sehingga pada
akhirnya mau tidak mau seluruh ciptaan akan diselamatkan.
Kita kurang lebih mengenal pandangan dari
reformator Jean Calvin, yang berpendapat bahwa di samping penyataan khusus
Israel dan orang Kristen, ada juga penyataan umum yang diberikan Allah kepada
manusia, antara lain melalui alam semesta ini. Tetapi pada kesempatan yang
terbatas ini penggalian hanya dibatasi pada Kitab Suci saja, oleh karena,
biasanya, bagi kita dasar teologis dari Alkitab sudah memenuhi untuk keperluan
ini. Dalam penguraian dasar-dasar Alkitab ini tidak dapat dihindarkan beberapa
pengulangan yang sudah ditulis dalam karangan-karangan sebelumnya. Namun,
tulisan ini diharapkan dapat menjadi rangkuman dari pemikiran-pemikiran yang
tadinya terpisah-pisah.
a.
Allah sebagai Pencipta dan manusia sebagai ciptaan Dasar
yang pertama adalah apa yang kita baca terutama dalam Kitab Kejadian pasal
1-11, tetapi juga dalam banyak bagian-bagian Alkitab yang lain, yaitu pengakuan
iman bahwa Allah adalah Pencipta alam semesta, dan bahwa manusia adalah makhluk
ciptaan-Nya. Allah tidak menciptakan umat-Nya secara langsung. Ia menciptakan
manusia dari antara manusia barulah terbentuk umat-Nya. Itu berarti, kendatipun
Alkitab memusatkan perhatian pada umat (Israel dan Gereja Perdana), perhatian
ini selalu berkaitan dengan umat manusia. Mungkin, bagi banyak orang pokok
pengakuan ini akan terdengar sangat biasa saja. Tetapi, kesan "biasa"
ini didapatkan karena kita selalu menghubungkan pokok penciptaan dengan masalah
adanya Allah, dan bagaimana manusia harus hidup di hadapan Allah, bukan dengan
masalah kebersamaan manusia sebagai sesama ciptaan Allah. Dalam konteks
percakapan mengenai kerukunan beragama, kita memerlukan perspektif baru yang
khas Indonesia, yang bisa menyoroti pokok penciptaan secara baru pula. Dalam
kerangka ini penting sekali bagi kita untuk menyadari, bahwa "Adam"
bukanlah sekadar nama dari manusia pertama. Memang dalam Kejadian 4: 25
"Adam" adalah nama orang, tetapi sebelum itu "Adam" selalu
berarti "Manusia" (dengan huruf "M" besar), dan begitulah
TB-LAI menerjemahkan ungkapan Ibrani. Dalam Kejadian 1: 26-28 manusia disebut
"gambar Allah". Dalam teologi Barat ungkapan ini dianggap tidak
mencukupi untuk membahas siapakah manusia secara teologis, oleh karena hanya
muncul beberapa kali saja dalam Alkitab. Tetapi, sebenarnya alasan ini semacam
selubung untuk secara halus mencegah orang menemukan keuniversalan manusia yang
terdapat dalam ungkapan ini. Kalau memang tidak mencukupi, mengapa ada orang
(Jonsson, 1993) yang bisa membuat disertasi mengenai 100 tahun sejarah
interpretasi Imago Dei ? Biasanya, orang memulai pendekatan terhadap
"gambar Allah" secara keliru, yaitu mulai mempertanyakan apakah yang
dimaksud bahwa manusia adalah gambar Allah? Padahal kisah Kejadian mau
memperlihatkan bahwa gambar Allah adalah manusia! Hanya manusia dari seluruh
ciptaan Allah yang lain yang disebut gambar Allah. Itu berarti di satu pihak
manusia adalah ciptaan sama seperti makhluk lainnya, tetapi tetap ada
keunikannya. Di mana letak keunikannya? Gambar Allah menunjuk pada kemanusiaan
manusia. Dalam situasi manapun manusia berada, ia tetap adalah gambar Allah,
dia tetap manusia. Tidak dapat dibinatangkan oleh siapapun juga. Kalau kita
menghubungkan Kejadian 1-11 dengan ayat-ayat mengenai Imago Dei dalam
Perjanjian Baru, penafsiran mengenai gambar Allah yang sudah rusak dapat
dikonstruksikan. Tetapi, kalau kita tetap mau mengikuti teologi tradisional,
maka jalan ke luar yang dapat diambil adalah mengakui bahwa, di satu pihak,
dosa menyebabkan manusia kehilangan gambar Allah, tetapi oleh Yesus Kristus,
maka gambar Allah ini dipulihkan kembali. Dipulihkannya ini tidak mesti sesudah
manusia menerima Kristus. Sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Paulus,
"... Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah
mati untuk kita, ketika kita masih berdosa" (Roma 5: 8). Masih ada satu
segi dari pokok penciptaan yang perlu menjadi perhatian kita: manusia
seringkali disebut sebagai "daging" (basar). Maksudnya, bukan pertama-tama
mau mengungkapkan aspek kejasmanian manusia, melainkan aspek kerapuhannya
sebagai makhluk fana yang dapat mati. Tradisi Hikmat (Wisdom) yang berada di
belakang kitab-kitab Kejadian, Ayub, Amsal, dan Pengkhotbah (dan juga sebagian
Mazmur) dan Khotbah di Bukit dalam Injil Matius dan Lukas serta Injil Yohanes
(masalah Logos dan Sophia!), memuat pelbagai macam himbauan mengenai apa yang
harus dibuat oleh manusia untuk menerima kefanaannya. Namun, itu sekaligus juga
membuat hidup manusia yang singkat ini menjadi berharga. Dalam tradisi ini
pergumulan universal manusia sebagai makhluk dari darah dan daging, yang
meliputi harapan dan sukacita, tetapi juga amat menonjolkan kekecewaan dan
keputusasaannya. Kefanaan manusia dan kerinduan manusia untuk imortalitas
merupakan masalah fundamental bagi agama-agama. Oleh karena itu, pokok mengenai
manusia sebagai "daging" dapat menjadi dasar untuk pemahaman yang
membantu memotivasi kerukunan beragama.
b.
Umat Allah sebagai Pelayan Kebersamaan Manusia Dasar
yang kedua adalah pemahaman mengenai umat Allah. Pokok ini sering dianggap
sebagai sesuatu yang eksklusif sifatnya. Abraham dipanggil keluar dari Ur
supaya menjadi cikal-bakal umat Israel, sedangkan umat Israel dipanggil keluar
(Exodus) supaya menjadi umat kesayangan Tuhan. Demikian kita baca di dalam
Ulangan 7: 6. Pemahaman mengenai Israel sebagai umat kesayangan Tuhan, umat
yang dipilih Tuhan dari antara bangsa-bangsa yang lain memang amat menonjol di
dalam Alkitab. Bahkan, dalam Perjanjian Baru yang sudah berwawasan universal,
idea ini tetap kuat juga. Keselamatan datang dari orang Yahudi (Yohanes 4: 22).
Dalam Roma pasal 11 Paulus tetap mempertahankan bahwa Israel adalah umat Allah
sedangkan orang Kristen non-Yahudi cuma "cangkokan" saja (Roma 11:
17). Idea umat Allah kemudian diteruskan dalam surat-surat Petrus. Orang
Kristen menjadi bagian dari "imamat yang rajani" (I Petrus 2: 9).
Berbeda dengan Israel yang mempunyai golongan iman dan awam, Israel baru,
jemaat Tuhan, semuanya adalah imam. Dalam Perjanjian Baru tidak banyak ayat
yang mengungkapkan kelompok Kristen sebagai umat (laos). Yang banyak dipakai
adalah "persekutuan" (koinonia). Namun, dalam teologi tradisional,
gereja biasanya digambarkan menggantikan tempat Israel sebagai umat Allah.
Gereja adalah Israel baru, yang menjadi kesayangan Tuhan. Penderitaan Israel
dilihat sebagai sesuatu yang bermakna, bukan hanya bagi Israel sendiri, tetapi
juga bagi yang lain. Israel tidak dilihat sebagai model penampilannya menarik
dan mengagumkan, melainkan model yang sebetulnya pantas dipertanyakan apakah
layak menjadi model. "Kita" dalam syair terakhir ini adalah dunia
(bangsa-bangsa) yang menyaksikan penderitaan Israel. Meskipun menderita malu
yang amat sangat, penderitaan ini tidak berdampak traumatik, yang menyebabkan
Israel nantinya membangun konsep umat terpilih yang eksklusif dan intoleran
sebagai kompensasi atas penderitaan masa lalu dan tidak mau menderita lagi atas
alasan apapun (sehingga daripada menderita lebih baik menderitakan orang lain),
melainkan penderitaan dilihat sebagai penebusan bagi dunia ini. Israel
menderita untuk dunia, dalam rangka melayani dunia. Inilah yang menjadikan
dasar keterampilan Israel. Suatu dasar yang sama sekali lain dari konsep umat
kesayangan. Yang mengesankan adalah bahwa penderitaan yang dijalani untuk orang
lain ini digambarkan sebagai kesadaran yang timbul dalam hati bangsa-bangsa,
bukan sesuatu yang dikhotbahkan kepada mereka. Dengan melihat dan merenungkan
penderitaan Israel, bangsa-bangsa lain dapat belajar untuk menerima kenyataan
penderitaan yang mereka sendiri alami, namun sekaligus mengatasinya. Demikian
halnya di dalam narasi Matius kita mencatat ada Khotbah di Bukit (pasal 5-7)
yang ditujukan baik kepada para murid dan siapapun juga yang mau mendengar dan
yang isinya berkaitan dengan bagaimana manusia yang satu berelasi dengan
manusia yang lain. Dalam Matius 7: 13 Yesus meringkaskan isi seluruh hukum
Taurat dan kitab para nabi sebagai berikut: "Segala sesuatu yang kamu
kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada
mereka" (paralel dalam Lukas 13: 24). Ratusan tahun sebelumnya Khong Hu Cu
sudah berkata demikian, tetapi dengan perumusan yang berbentuk negatif,
"yang tidak kamu kehendaki". Mereka yang berpola pikir partikular
akan mengatakan bahwa ucapan Yesus tetap unik oleh karena dirumuskan secara
positif, sedangkan ucapan Khong Hu Cu oleh karena dirumuskan secara negatif,
tetapi kurang dibandingkan ucapan Yesus. Di sini terjadi kerancuan berpikir
yang menganggap sebuah rumusan yang berbentuk negatif sebagai bermakna negatif!
Mengapa tidak menerima saja bahwa baik Yesus maupun Khong Hu Cu mengambil
inspirasi dari kebenaran universal yang laku sepanjang masa? Kemudian ada
ringkasan Taurat (Matius 22: 37-40) yang terkenal itu, yang memuat keseimbangan
antara kasih kepada Allah dan kasih kepada sesama. Taurat yang partikular itu
membuahkan hal yang universal!
Pada akhir Injil Matius kita menjumpai pasal yang terkenal mengenai penghakiman
terakhir (Matius 25: 31-46). Menarik sekali bahwa di sini Yesus mengidentikkan
pelayanan kepada-Nya dengan pelayanan kepada mereka yang tersisih dalam
masyarakat. Pada penghakiman terakhir "semua bangsa" harus
mempertanggungjawabkan tindak-tanduk mereka. Perikop ini tidak berbicara
mengenai penghakiman orang yang tidak percaya, tetapi penghakiman orang yang
tidak menolong sesama yang membutuhkan pertolongan konkret. Itu makna dari
perikop ini. Tetapi dalam sejarah makna ini sering diselubungi dengan makna
partikular yang sangat berat sebelah. Dalam ayat 32 dan 33 disebutkan mengenai
"domba" dan "kambing". Domba ditempatkan di sebelah kanan
sedangkan kambing di sebelah kiri. Yang di sebelah kanan masuk ke hidup yang
kekal tetapi yang di sebelah kiri masuk kesiksaan yang kekal (ayat 46).
Otomatis "domba" diidentikkan dengan partikularitas umat! Dalam
rangka mencari dasar Alkitab bagi hidup bersama dalam masyarakat keagamaan yang
bersifat majemuk, sudah mendesak usaha menafsirkan kembali ayat-ayat yang
universal sifatnya, tetapi yang terang universalnya lama terselubung oleh penafsiran
tradisional yang tidak sesuai dengan makna harfiahnya.
Di atas, kita telah melihat bagaimana perenungan mengenai hakikat umat Allah
tidak dapat dilepaskan dari perenungan mengenai hakikat Kristus dan
keselamatan. Oleh karena itu, kita akan masuk ke bagian ketiga dan terakhir
dari tulisan ini. Tetapi, kiranya jelas bahwa uraian di dalam Alkitab mengenai
kekhasan umat tidak pernah dapat dilepaskan dari keuniversalan manusia.
Kekhasan umat bukanlah tujuan pada dirinya sendiri. Orang terpanggil untuk menyadari
jati dirinya, supaya dapat berkembang bersama yang lain menuju keuniversalan
manusia. Oleh karena itu pembinaan keumatan tidak dapat dilaksanakan terlepas
dari pembinaan kemanusiaan!
c.
Menurut kamu siapakah Aku ini?: Gambaran kita mengenai
Kristus
Dasar yang ketiga adalah bagaimana kita memandang Kristus. Umumnya kita
menganggap, bahwa pembicaraan mengenai Kristus dalam dialog atau dalam konteks
kerukunan beragama selalu akan mengalami jalan buntu, oleh karena agama lain
tidak dapat menerima akan keilahian Kristus. Atau dengan kata lain, pembicaraan
yang bertolak dari Kristologi harus dihindarkan. Lebih baik mulai dari
Pneumatologi misalnya. Tentu pendekatan Pneumatologi merupakan pendekatan yang
sah. Dalam Perjanjian Baru Kristus diakui juga sebagai Roh. Kalau Allah adalah
Roh dan Roh ada di mana-mana dan tidak mesti dibatasi oleh perumusan kristiani
mengenai Allah, maka seyogianya pengakuan kita pada Kristus sebagai yang
menentukan dengan apa yang diakui oleh yang lain sebagai menentukan tidak perlu
dipertentangkan. Orang Kristen menamakan yang menentukan hidupnya adalah
Kristus, sedangkan yang beragama lain memberinya nama sendiri-sendiri, tetapi
akhirnya kita bertemu dalam Misteri yang berada di belakang nama-nama tersebut.
Namun demikian tidak berarti, bahwa pemahaman seperti ini bebas dari kelemahan.
Masih menjadi soal apakah Misteri itu dapat dibuat menjadi apa yang
mempersatukan kita semua. Semua agama dengan demikian sama saja, dalam arti
berhadapan dengan Misteri. Memang betul, bahwa kita semua berhadapan dengan
Misteri yang melampaui apa yang dapat didefinisikan oleh kepala kita, tetapi
tidak perlu disimpulkan bahwa oleh karena itu semua agama sama saja. Kita
kembali pada apa yang sudah diungkapkan di atas, bahwa ada hal-hal yang sama
pada agama-agama, tetapi ada juga hal-hal yang tidak sama. Pemahaman mengenai
Kristus nampaknya akan menjadi hal yang membedakan agama Kristen dari
agama-agama lain, dan kenyataan ini tidak dapat kita sembunyikan demi
memuluskan kerukunan beragama. Berbeda dengan pemahaman umum di atas, di sini
terdapat keyakinan bahwa kristologi adalah bagian dari percakapan mengenai
kerukunan beragama. Masalahnya adalah, bagaimanakah gambaran kita mengenai
Kristus dan mengapa gambaran mengenai Kristus ini lekas mendapatkan reaksi dari
mereka yang lain. Gambaran Kristus yang kita warisi adalah gambaran Kristus
yang berasal dari dunia yang homogen sifatnya. Kristus sebagai penguasa dan
penakluk dunia, Kristus sebagai King of Kings, Raja dari segala Raja. Dalam
gambaran ini semua, yang lain langsung ditiadakan atau dikerdilkan, dan inilah
yang dirasakan sangat ofensif bagi yang lain. Kebetulan gambaran ini
berkesejajaran dengan penyebaran kolonialisme dan imperalisme Barat, yang
memang sama sekali tidak peka dan tidak mau tahu mengenai kemajemukan dunia
ini. Dalam Perjanjian Baru Kristus disebut Kurios, "Penguasa".
Konteksnya adalah perlawanan terhadap Kaisar yang menganggap diri Kurios, yang
menguasai segala sesuatu. Dalam arti tertentu gambaran Perjanjian Baru ini
dapat kita aktualkan dalam masalah perjuangan melawan totaliterisme. Tidak ada
satu manusia atau struktur apapun yang berhak mengambil kedudukan Tuhan.
Pemerintah bukan Kurios, Kristus adalah Kurios, "Tuhan"!Namun,
gambaran ini tidak sesuai kalau diterapkan kepada keberadaan agama-agama lain.
Anggapan bahwa agama-agama lain adalah agama total yang dapat membawa pada
totaliterisme, sedangkan agama Kristen (Protestan maupun Katolik) oleh karena
dinamika Injil adalah anti totaliterisme merupakan anggapan yang sangat
berprasangka. Semua agama, termasuk agama Kristen, kalau tidak waspada, dapat
menuju pada totaliterisme, menggantikan penghormatan kepada Tuhan dengan
penghormatan kepada agama dan artefact agama! Maka kiranya gambaran Kristus
sebagai Kurios, meskipun dominan dalam Perjanjian Baru, tidak perlu kita
jadikan satu-satunya gambaran mengenai Kristus dalam kehidupan beragama kita.
Kita perlu terbuka juga pada gambaran lain yang juga dapat diusut dari
Perjanjian Baru. Gambaran ini adalah gambaran Kristus sebagai Hamba-Mesias. Jadi,
kita menghindarkan gambaran Mesias yang triumfalistik sifatnya, tetapi tidak
menghapuskan sama sekali gambaran Mesianik ini. Kristus adalah tetap Mesias,
namun Mesias yang sekaligus adalah Hamba. Kalau kita mengingat kembali teologi
biblika mengenai sejarah pemahaman orang beriman terhadap Yesus dan karya-Nya,
maka kita melihat bagaimana suatu arus dalam Perjanjian Lama, yakni penantian
akan Mesias digabungkan dengan arus lain, yaitu pemahaman diri Israel sebagai
Hamba Tuhan. Itulah yang menghasilkan pemahaman Yesus sebagai Mesias yang
menderita. Tentu kenyataannya tidak sesederhana ini, namun kira-kira
demikianlah. Teman-teman kita di Korea Selatan memulai pemahaman mengenai
Kristus sebagai Hamba-Mesias ("the Servant-Messiah"). Pemahaman umat
sebagai pelayan kebersamaan tentu sesuai sekali dengan pemahaman ini. Dan
sesuai juga dengan apa yang dikatakan dalam Perjanjian Baru, bahwa seorang
hamba tidak lebih besar daripada Tuannya. Kalau sang Tuan bersedia menghamba
melayani, apa lagi dengan si hamba itu sendiri?
Kalau Kristus adalah Hamba-Mesias, maka ia bukanlah penakluk dan peniada dari
mereka yang lain. Kristus adalah penggenap, begitu dikatakan dalam Injil Matius
dan bapak Gereja Clemens banyak menerapkan gambaran Kristus sebagai penggenap
ini dalam menjelaskan iman kristiani baik kepada diri sendiri maupun kepada
orang lain. Tetapi tentu saja Kristus bukan sekadar penggenap saja, melainkan
memperbarui juga. Oleh karena itu gambaran Kristus sebagai Servant-Messiah
adalah gambaran Kristus sebagai Transformator. Sebagai pelayan, ia menggenapi
segala sesuatu yang baik dan yang diantisipasikan oleh dunia ini, tetapi Ia
tetap Mesias yang datang untuk mentransformasikan segala sesuatu. Tinggal
bagaimana kita mengartikan "transformasi" itu. Dunia Barat cenderung
mengartikan transformasi sebagai mulai dari nol. Kita tidak perlu mengikuti
pola pemikiran demikian dalam berinteraksi dengan masyarakat majemuk di sekitar
kita. Kita mulai dari apa yang sudah ada, yang sudah merupakan kekayaan
religius kita! Bukankah agama Kristen juga demikian, mulai dari apa yang sudah
ada, yakni agama Israel? Pengakuan bahwa Kristus adalah sekaligus Ilahi dan
insani bersifat hakiki, artinya dalam konteks manapun kita berada, pengakuan
ini tidak dapat dikurangi, baik dari segi ilahinya maupun dari segi insaninya.
Dalam sejarah gereja kita menemukan, bahwa setiap usaha yang mau memutlakkan
hanya salah satu dari kedua segi itu, akhirnya dicap sebagai ajaran yang
menyeleweng. Tetapi, dari sejarah pekabaran Injil di Indonesia kita menemukan,
bahwa acapkali Kristus dikabarkan dengan tekanan yang terlampau berat pada satu
segi saja, yaitu segi keilahiannya. Dan itulah yang menyebabkan bahwa sampai
sekarang, pokok inkarnasi merupakan anugerah yang terus meneruskan
diterlantarkan dalam kehidupan beriman orang Kristen di Indonesia. Bahkan pokok
inkarnasi yang dalam Perjanjian Baru berarti bahwa Allah telah menjadi manusia,
dalam penghayatan kaum kristiani dalam konteks kita malah diartikan agak
doketistik: Yesus adalah Allah yang kebetulan saja mengambil rupa manusia! Kita
dapat memahami, bahwa pada waktu yang lampau orang berhadapan dalam suasana
konfrontatif dengan pemahaman yang dominan, yaitu Yesus sebagai salah satu dari
sekian banyak nabi (Islam) dan kekhawatiran bahwa Yesus hanya akan dianggap
sebagai salah satu dari sekian banyak guru (Kejawen). Karena itu pemberitaannya
adalah "Tidak, Yesus bukan nabi, dia Allah!"; atau "Tidak, Yesus
bukan guru, dia Allah!". Namun dengan demikian orang pada masa lalu rentan
terhadap bahaya penyelewengan yang sudah dikemukakan di atas, bahwa kemanusiaan
Yesus diabaikan sama sekali. Juga rujukan di dalam Perjanjian Baru sendiri,
bahwa Yesus disebut nabi dan guru. Salah satu kekuatan agama Kristiani yang
merujuk pada Alkitab adalah penghargaan terhadap apa yang disebut historisitas,
dan itu termasuk penghargaan pada "Yesus yang historis". Tetapi,
kalau yang diperhatikan hanya keilahian Kristus, "Kristus dari iman",
maka nanti Yesus yang diberitakan itu bukan lagi Yesus yang dikenal di dalam Kitab
Suci. Jadi, salah satu titik "plus" dari usaha kontekstualisasi
dengan mencari dan menemukan kembali kekayaan Alkitab yang dapat kita
pergunakan dalam penghayatan iman di dalam konteks kita sendiri, adalah bahwa
kita bisa mempertanggungjawabkan kontinuitas penghayatan iman kita dengan
sejarah yang panjang dari iman umat kristiani sejak zaman Alkitab!
Percakapan dengan orang beragama lain mengenai Yesus sebagai insan dengan
demikian bukan berarti pengkhianatan terhadap pokok pengakuan kita mengenai
Yesus sebagai yang ilahi dan yang insani. Orang Kristen yang berusaha
memberikan gambaran mengenai Kristus yang kontekstual, artinya seperti yang
dimengerti oleh pemikiran di sekitarnya. Misalnya, dengan berkata-kata mengenai
Yesus sebagai Abdullah, "hamba Allah" daripada Kristus sebagai
"anak Allah", tidak perlu dicap sebagai mau mengorbankan pemahaman
terakhir ini, demi kesuksesan dialog dan kemulusan kerukunan beragama. Ia masih
tetap berada dalam lingkup perbendaharaan kata-kata Alkitab juga, yang
berbicara mengenai Yesus sebagai Hamba Tuhan. Dalam bahasa Yunani, kata
"Hamba(budak)" maupun "anak" adalah pais atau paidos. Dalam
bahasa Indonesia kuno (Melayu) "budak" adalah juga "anak". Di
dunia teologi Barat masa kini, percakapan mengenai "Yesus yang
historis" menghangat lagi. Namun, rupanya orang tetap akan menuju pada
keseimbangan antara "Christ of Faith" dan "Jesus of
History". Keseimbangan itu jugalah yang seharusnya menjadi dambaan kita
dalam mengembangkan suatu gambaran Kristologi yang kontekstual. Kalau dulunya
kita terlalu berat sebelah menekankan pada keilahian Kristus, tentu sekarang
kita tidak perlu menuju pada ekstrim yang lain, yaitu terlalu berat sebelah
menekankan pada keinsanian Kristus. Tetapi itu tetap berarti bahwa pada masa
kini, kita berbicara lebih banyak mengenai keinsanian Yesus, supaya justru
dengan demikian keseimbangan tersebut dapat dicapai.
d. Makna Keselamatan dalam kehidupan bersama dengan yang lain
Pokok keselamatan yang menjadi dasar yang keempat dalam pembicaraan ini,
ternyata adalah sesuatu yang amat sensitif bagi orang-orang Kristen di
Indonesia dalam percakapan yang berkaitan dengan kemajemukan agama-agama.
Setiap kali ada usaha untuk memperluas wawasan umat kristiani ke arah apresiasi
terhadap agama lain, setiap kali pula ada reaksi yang menyesalkan apresiasi ini
sebagai sesuatu yang mengurangi nilai keselamatan yang ada pada Yesus Kristus.
Bahkan, apabila dapat diperlihatkan bahwa sepanjang sejarah penghayatan iman
yang berlangsung dari zaman Alkitab, sekalipun ada proses apresiasi dan
pengambilalihan dari agama lain, hal ini juga dianggap sebagai sesuatu yang
merugikan jati diri agama Kristen sendiri. Cara berpikirnya sederhana saja:
kalau yang lain itu diapresiasikan berarti ada yang baik pada yang lain itu.
Jadi, kalau ada pada yang lain, untuk apa kita menjadi kristiani, untuk apa
kita menerima keselamatan dari Kristus? Kita melihat dalam cara berpikir
seperti ini bahwa "orang percaya" sangat dipertentangkan dengan
manusia-manusia yang lain. Atau dengan kata lain, dipertentangkan dengan
"orang banyak". Orang percaya adalah orang yang selamat, sedangkan
orang banyak adalah yang tidak/belum selamat. Biasanya dikatakan, bahwa dasar
ini terambil dari Injil Yohanes pasal 3: 16. Allah mengasihi dunia ini, oleh
karena itu Putra-Nya yang tunggal dikaruniakan-Nya kepada dunia, supaya setiap
orang yang percaya kepada-Nya mendapatkan keselamatan. Tekanannya adalah pada
"setiap orang yang percaya. Jadi percaya dulu, barulah selamat." Di
dalam Perjanjian Baru tidak ada universalisme begitu saja. Oleh karena itu
patut memperhatikan ungkapan "setiap orang yang percaya" dalam ayat
di atas. Namun, masih merupakan pertanyaan apakah konteks ayat ini menekankan
atau menitikberatkan pada ungkapan tersebut. Bagian pertama dari ayat 16 mulai
dengan mengemukakan kasih Allah yang besar kepada dunia ini, sehingga rela
mengaruniakan anak-Nya, sedangkan ayat l7 mengemukakan bahwa anak-Nya diutus
bukan untuk menghakimi melainkan untuk menyelamatkan. Memang sulit untuk
menekankan bahwa tekanannya adalah mengenai pengasihan Allah kepada dunia.
Tetapi, minimal yang dapat dikatakan mengenai konteks Yohanes 3: 16 adalah
bahwa ada tekanan yang seimbang di antara kasih Allah dan keputusan yang harus
diambil oleh manusia, bukan tekanan yang menonjolkan "orang (harus)
percaya" saja. Akan halnya "orang banyak", kita melihat di dalam
Injil-injil, terutama Injil Markus, bahwa Yesus melayani orang banyak (ochols)
tanpa menekankan mengenai pemuridan mereka. Rupanya, Yesus digambarkan melayani
dua golongan, para murid dan orang banyak. Para murid tidak dipertentangkan
dengan orang banyak. Bahkan, dalam Injil Markus para murid disebut
"degil". Ketika Yesus berada pada saat terakhir dalam menghadapi
kesengsaraan-Nya, tidak ada seorangpun di samping-Nya. Orang banyak sudah
melarikan diri semua, begitu pula para murid! Kalau Yesus sendiri tidak memberi
batasan yang sangat jelas mengenai keberadaan murid dan keberadaan orang
banyak, perbuatan kita di masa kini yang malah menarik garis batas yang jelas
dan mempertentangkan antara keduanya merupakan sesuatu yang gegabah dan riskan.
Idea mengenai "sejarah keselamatan" (Heilsgeschicte) sudah banyak
ditinggalkan dalam teologi biblika. Tetapi tetap benar dan sah, bahwa
pembicaraan mengenai keselamatan umat berhubungan erat dengan keselamatan
dunia. Pada bagian-bagian yang paling tajam menekankan pada umat, seperti kitab
Wahyu, pada akhirnya tetap ada perhatian pada dunia, sekalipun dunia itu adalah
"langit baru dan bumi baru". Kalau kita kembali pada pembahasan kita
di atas, mengenai penciptaan, kita akan menyadari bahwa penciptaan manusia
dalam narasi Kejadian pasal 1-11 disusul dengan pemangggilan Abraham dalam
Kejadian 12. Pemanggilan Abraham dalam Torah bermuara pada pemanggilan Musa
dalam Keluaran pasal 3 dan akhirnya pembebasan umat Israel dari Mesir dan kisah
awal mengenai jati diri Israel sebagai umat Allah. Jadi, dari universal
garisnya menjadi agak sempit ke garis partikular. Namun sebaliknya, dalam
penghayatan umat mengenai keberadaan umat Israel sesudah pembuangan dalam
"syair-syair Hamba Tuhan", kita melihat garis yang berlawanan arah,
dari garis partikular ke garis universal. Hamba Tuhan yang adalah Israel harus
menjadi "perjanjian bagi umat manusia, terang bagi bangsa-bangsa"
(Yesaya 42: 6). Dari sini jelas, bahwa keselamatan dalam Alkitab tidak bisa diartikan hanya mutlak bersifat
partikularistik. Di dalam Alkitab sendiri jelas, bahwa keselamatan juga
mengandung makna universalistik. Kalau tidak demikian, mana mungkin Injil
menyebar ke lingkungan yang lebih luas daripada kekristenan Yahudi yang membatasi
keselamatan dalam Kristus hanya pada keyahudian saja? Paulus digambarkan
menghantam pembatasan ini dalam serangannya terhadap praktik sunat yang mau
diterapkan oleh orang Kristen Yahudi terhadap orang Kristen non-Yahudi. Tetapi
oleh banyak orang Kristen sekarang ini cara berpikir orang Kristen Yahudi itu
mau diambil alih. Jadi, bukannya mengikut Paulus tetapi mengikut lawan-lawan
Paulus! Oleh karena jasa Paulus, keselamatan terbuka bagi orang-orang
non-Yahudi. Tetapi oleh banyak orang Kristen sekarang, keselamatan ditutup
menjadi hak eksklusif dari kelompok Kristen saja. Kalau dulu orang Kristen
Yahudi berkata kepada dunia: engkau harus disunat dulu baru selamat, sekarang
banyak orang Kristiani berkata kepada dunia: engkau harus percaya dulu atau dibaptis
dulu baru selamat. Praktik baptis dalam kenyataan telah mengganti praktik
sunat, padahal maksud Paulus bukan mengganti praktik sunat dengan praktik
baptis melainkan menghapus sunat! Itu berarti, baptisan tidak dapat dianggap
sejalan dengan sunat, atau dengan kata lain baptisan harus berfungsi lain
daripada sunat. Di sini tidak ada maksud untuk merelatifkan keselamatan dengan,
misalnya, merumuskan bahwa Kristus menyelamatkan semua orang di semua agama.
Tetapi, dalam kehidupan kristiani yang sehari-hari berkomunikasi dengan
masyarakat keagamaan yang bersifat majemuk, pemahaman keselamatan yang bersifat
non-majemuk tidak mungkin dapat dipertahankan. Kita memiliki dasar Alkitab yang
kuat kalau kita berpindah dari pemahaman keselamatan yang eksklusif ke pemahaman
keselamatan yang inklusif. Kita semua maklum, bahwa keselamatan di dalam
Kristus menurut iman kristiani pada dewasa ini tidak dapat diartikan
semata-mata hanya bersifat spiritual, vertikal dan "seberang-sana".
Semua golongan akan setuju, bahwa keselamatan bersifat menyeluruh, holistik,
meliputi rohani maupun jasmani, vertikal maupun horizontal. Keselamatan
diwartakan, dan sementara itu yang mewartakan, secara konkret juga melakukan
tindakan-tindakan sosial. Tetapi, hubungan langsung antara keselamatan dan
tindakan sosial biasanya menjadi masalah bagi umat Kristiani. Di masa lalu di
Amerika Serikat ada gerakan yang disebut "Social Gospel", "Injil
Sosial". Gerakan ini dikecam oleh kalangan Protestan ortodoks sebagai
Injil yang tidak murni lagi, sebab menekankan pada perbuatan manusia. Padahal,
manusia diselamatkan bukan karena perbuatan tetapi karena iman. Orang-orang
Protestan ortodoks ini bukannya tidak melakukan perbuatan baik. Tetapi,
perbuatan baik tidak ada sangkut-pautnya dengan iman dan keselamatan. Orang
tidak beriman bisa saja melakukan perbuatan baik. Sebab, itu usaha manusia.
Sedangkan orang beriman yang melakukan perbuatan baik, melakukannya sebagai
"buah iman" yang disebabkan oleh Roh Kudus. Apabila usaha manusia
dibandingkan dengan karya Roh Kudus, tentulah yang terakhir ini yang lebih
unggul. Pada gilirannya perbuatan baik yang dilakukan oleh orang beriman adalah
dalam rangka menarik perhatian orang untuk menerima keselamatan. Jadi perbuatan
baik, tindakan pelayanan sosial dianggap sebagai alat dan bukan bagian yang
integral dari Pekabaran Injil. Menghayati keselamatan secara holistik menuntut
suatu perubahan dari pemahaman seperti di atas. Meskipun ungkapan "selamat
oleh karena iman (sola fide)" menjadi sangat penting bagi tradisi Reformasi,
di dalam Perjanjian Baru ungkapan yang dapat diusut dari rasul Paulus (surat
Roma) ini ternyata berada berdampingan dengan ungkapan "iman tanpa
perbuatan adalah mati" (surat Yakobus). Belum lagi kenyataan, bahwa dalam
penghakiman terakhir seperti kita lihat pada Matius 25: 32-46 di atas, bukan
keanggotaan kelompok yang ditanyakan, tetapi apakah manusia sudah berbuat
sesuatu yang konkret bagi mereka yang lemah. Maka, idealnya perbuatan dilihat
sebagai perwujudan dari penghayatan iman, bukan sekadar "buah iman"
dalam arti sama sekali bukan usaha manusia. Kalau perbuatan dapat kita lihat
sebagai perwujudan dari penghayatan iman, maka harusnya kita terbuka juga pada
perbuatan baik yang dilakukan oleh orang lain. Artinya, meskipun perbuatan
baiknya adalah usaha manusia, hal itu adalah sesuatu yang positif, yang
terwujudkan sebagai penghayatan imannya, yang jelas lain dari iman kita. Ada
agama-agama lain yang menekankan pada keselamatan sama seperti agama Kristen
(salvific religions) dan ada pula agama-agama yang menekankan pada pengetahuan
atau pengenalan (wisdomic religions). Kedua unsur ini bisa bercampur dalam satu
agama. Yang menekankan keselamatan melihat perbuatan sebagai perwujudan
penghayatan iman, sedangkan yang menekankan pada pengenalan atau pengetahuan
melihat perbuatan sebagai prasyarat untuk pengenalan tersebut. Namun, yang
nampak dalam kehidupan telanjang sehari-hari adalah perbuatan masing-masing.
Apapun yang ditekankan dalam agama sebagai soko guru pengajarannya, pada
akhirnya kredibilitas agama ditentukan oleh apa yang dilihat dalam kehidupan
telanjang sehari-hari. Di atas, kita telah melihat bahwa dasar bagi kerukunan
beragama dapat dilaksanakan melalui humanitas dan keprihatinan sosial bersama,
meskipun tidak cukup hanya itu saja.
Telah diusahakan untuk
memperlihatkan, bahwa ada dasar Alkitab yang cukup kuat dan diharuskan
memuaskan bagi usaha kerukunan dan dialog umat beragama. Tetapi, pada bagian
terakhir ini mau diperlihatkan bahwa pelayanan sosial yang acapkali dianggap
paling tepat untuk menjadi ajang pekerjaan bersama umat beragama, oleh karena
dipahami sebagai dasar sekular yang netral, ternyata dapat mempunyai dasar yang
kuat dari Alkitab, atau dengan kata lain, ada dasar teologisnya! Kalau kita
memeriksa Perjanjian Lama, maka keselamatan berkaitan erat dengan pemahaman
mengenai shalom, yang biasanya kita artikan "damai". Tetapi, damai
yang bagaimana? Bukan ketiadaan perang ataupun kekacauan, melainkan keadaan
yang seimbang dan oleh karena itu harmonis. Shalom selalu dihubungkan dengan
situasi dalam dunia dan masyarakat, namun berasal dari Allah.
Di dalam Perjanjian Baru, kita
membaca mengenai Kerajaan Allah, yang meliputi langit dan bumi. Kalau di dalam
Injil Yohanes Yesus mengatakan kepada Pilatus bahwa kerajaan-Nya bukan dari dunia
ini, maka bukan maksud-Nya untuk mengatakan bahwa kerajaan-Nya bersifat abstrak
atau tidak kelihatan dan di luar dunia ini, melainkan dari surga meliputi
sampai ke dunia ini dan tidak sama seperti yang dibayangkan oleh si Pilatus.
Kalau Paulus mengatakan, bahwa kerajaan Allah bukan masalah makan dan minum,
melainkan masalah damai sejahtera, maka bukannya berarti makan dan minum tidak
penting. Melainkan, orang beriman tidak bisa mewarnai hubungannya dengan Tuhan
hanya sebatas makan dan minum saja.
Pada akhir Injil Matius kita mendapatkan Amanat Agung yang termasyhur itu, yang
memerintahkan murid-murid supaya pergi menjadikan segala bangsa menjadi murid
Tuhan, membaptiskan serta mengajarkan mereka semua yang telah diperintahkan
Tuhan kepada para rasul (Matius 28: 16-20). Amanat Agung ini telah ditafsirkan
sebagai perintah "mencari jiwa untuk diselamatkan". Itu bisa berarti
kristenisasi, dalam arti orang dibujuk supaya meninggalkan agama yang dianut
dan beralih ke agama Kristen, atau pada aliran-aliran tertentu, bujukan untuk
meninggalkan gereja A yang sudah kehilangan Roh ke gereja B yang kepenuhan Roh.
Tetapi, kalau kita membaca baik perikop ini secara khusus maupun seluruh narasi
Matius, kita tidak akan mendapatkan apapun mengenai "mencari jiwa".
Rupanya amanat "mencari jiwa" telah dimasukkan ke dalam teks Amanat
Agung dan dijadikan teks standard untuk pekabaran Injil yang hanya tertuju pada
segi yang vertikal.
Kita tetap bisa mempertahankan Amanat Agung dalam
kehidupan dengan masyarakat keagamaan yang bersifat majemuk, asalkan kita
memeriksa kembali Amanat Agung tersebut di dalam konteks narasi Matius. Di
dalam narasi Matius kita mendapatkan Khotbah di Bukit (Matius 5-7), Ringkasan
Taurat (Matius 22: 37-40) dan Penghakiman Terakhir (Matius 25: 31-46). Ketiga-tiganya,
seperti yang telah kita lihat dalam pembahasan di atas, berbicara mengenai apa
yang harus kita perbuat baik kepada Tuhan maupun kepada manusia. Dengan kata
lain, ketiga-tiganya berbicara mengenai keselamatan secara holistik. Biasanya,
kita membaca Amanat Agung pada Matius 28:16-20 sebagai perintah untuk pergi,
memuridkan, membaptis dan mengajar. "Pergi" itulah perintah-Nya,
sedangkan "memuridkan, membaptis dan mengajar" itulah isi
perintah-Nya. Tetapi, kalau Amanat Agung kita lihat sebagai puncak dari narasi
Matius, maka isi dari amanat tersebut akan kita dapatkan dalam narasi Matius,
yaitu antara lain dalam ketiga perikop yang telah disebutkan di atas, yang
menekankan pada perbuatan holistik. Belum lagi, masalah bahwa kata Yunani
poreuthentes tidak mesti berarti imperatif "pergilah!",melainkan bisa
juga "sementara engkau pergi/berjalan" ("as you go").
Kalau begitu, maka Amanat Agung mesti mengandung
unsur pelayanan sosial sebagai bagian yang integral daripadanya. Pelayanan
sosial bukanlah suatu alat atau suatu "ekstra" yang kita jalankan,
sementara kita melaksanakan Amanat Agung. Pelayanan sosial sebagai bagian yang
integral dari Amanat Agung akan menjadi kesaksian bagi dunia sekitar mengenai
Dia yang telah mengasihi dunia dan telah mengaruniakan Putra Tunggal-Nya bagi
keselamatan dunia ini. Kesaksian itu sekaligus merupakan undangan bagi dunia
untuk ikut ambil bagian dalam cinta kasih ilahi. Hal ini lain sekali dari
melaksanakan bujukan atau kristenisasi. Masalahnya bagi kita adalah, kita
sebenarnya sudah tahu bahwa kristenisasi tidak baik dan tidak fair, oleh karena
memakai "iming-iming" atau memanfaatkan kesempitan yang sedang
dialami oleh orang lain. Tetapi, penghormatan kita yang tinggi sekali terhadap
Amanat Agung menyebabkan kita tidak berani menghentikannya, oleh karena tidak
mengetahui alternatif lain. Atau kita mengidentikkan Amanat Agung dengan
kristenisasi, lalu kita berhenti melaksanakan Amanat Agung dengan mengira bahwa
dengan demikian kita telah berhenti melaksanakan kristenisasi. Di sini mau
diperlihatkan, bahwa pemahaman Amanat Agung dalam Injil Matius yang
memperhatikan konteks, baik konteks narasi Matius maupun konteks kita dewasa
ini, dapat menjadi jalan keluar bagi pemahaman misi yang baru di dalam
masyarakat keagamaan yang bersifat majemuk.
Hamba Tuhan ikut berpolitik praktis
Yang mengusik perhatian kita adalah tampilnya
banyak caleg dengan berbagai jualannya agar orang memilih mereka. Tentunya
jualan tersebut dibarengi dengan janji-janji bahwa jika mereka dipilih, maka
perubahan ke arah yang lebih baik akan segera terjadi. Terlepas dari apakah
janji mereka memang dipenuhi setelah mereka terpilih, hal yang ingn saya
soroti adalah fenomena banyaknya hamba Tuhan yang ikut terjun
mencalonkan diri.
Menurut hemat saya, ketika seorang hamba Tuhan
(Pendeta) mencalonkan diri sebagai seorang caleg, maka itu merupakan
sebuah kegagalan, kegagalan gereja di Indonesia.
Para hamba Tuhan (Pendeta) yang notabene seharusnya
mendidik umatnya untuk menjadi pribadi yang lengkap, justru maju bersaing dengan
jemaatnya dalam memperebutkan kursi dewan. Bukankah ini sebuah fenomena yang
menyedihkan? Bukankah ini menunjukkan kegagalan gereja? Kegagalan dalam pola
pelayanan dan pembinaan umat?
Terlepas dari apa motivasi para hamba Tuhan
tersebut, seharusnya gereja adalah tempat mempersiapkan orang-orang Kristen
yang siap pakai, orang-orang yang menjadi garam dan terang, orang-orang yang
bisa menunjukkan kehidupan Kristus dalam diri mereka kepada dunia ini, dan
tentunya orang-orang yang akan maju menjadi caleg untuk membawa perubahan yang
signifikan di tengah bangsa ini. Tapi apa yang kita lihat sekarang? Seharusnya
pendeta-pendeta bertugas di ranah mempersiapkan pemimpin-pemimpin (caleg),
bukan justru malah terjun langsung menjadi caleg. Asumsinya, ketika seorang
anak buah tidak mampu melakukan suatu tugas, maka pemimpinnya yang akan turun
tangan. Tapi jika anak buah tersebut selamanya tidak bisa melakukan tugasnya,
berarti ada kesalahan. Mungkin kesalahan memang ada pada si anak buah tersebut.
Tapi mungkin kesalahan justru ada pada si pemimipin, karena mungkin ia tidak
mempersiapkan anak buahnya untuk melakukan tugas tersebut
Bagaimana dengan hamba Tuhan (pendeta)? Apakah ikut sertanya mereka dalam
kancah politik praktis lebih disebabkan karena mereka merasa jemaatnya tidak
mampu membawa perubahan kalau jemaat tersebut yang duduk di kursi dewan?
Mungkin ada motivasi lain. Tapi kalau motivasinya karena si pendeta merasa
bahwa hanya ia yang mampu membawa perubahan kalau ia duduk di kursi dewan,
berarti kita sedang mengalami krisis kepemimpinan dalam gereja, dan ini berarti
ada sesuatu yang salah dalam pembinaan jemaat kita di Indonesia.
Saya berharap akan muncul gereja-gereja yang mendidik umatnya untuk menjadi
garam dan terang di tengah-tengah bangsa ini, dan para pendetanya akan
konsentrasi mengupayakan hal tersebut dan bukannya justru sibuk berpolitik
praktis.
1. PDS
adalah Partai yang bersifat sektarian (golongan tertentu/agama tertentu)
meskipun dalam AD/ART partai ini mengaku nasionalis dan berdiri di atas setiap
golongan. Dari lambang mereka salib dan burung merpati sudah sangat dominan
bahwa partai ini adalah partai Kristen. Dalam Amanat Agung Mat 28:19-20, Tuhan Yesus tidak
pernah memerintahkan murid-muridNya untuk mendirikan partai Kristen.
2. Partai
ini lahir dengan memanfaatkan sentimen agama. Padahal salah satu tanda dari
AntiKris adalah menyatukan politik, agama dan ekonomi ke dalam satu system.
Tuhan Yesus sendiri menolak ketika akan dijadikan pemimpin politik bangsa
Israel di tengah kebejatan system politik Romawi.
3. Beberapa
pemimpin dari PDS mengemukakan alasan teologis yang kelihatan berisi pemahaman
teologis padahal orang tersebut pendeta yang tidak pernah studi teologi.
Bagaimana seorang bergelar insinyur bisa mengemukakan pandangan teologi dengan
menyamakan bahwa situasi bangsa Indonesia sekarang sama dengan situasi ketika
bangsa Israel di Mesir. Pada waktu itu Yusuf dibangkitkan Tuhan sebagai
pemimpin Mesir. Nah, analogi ini dipakai untuk mengusahakan Presiden orang
Kristen (Proyek Yusuf 2004). Padahal harus dicermati bahwa masa Israel di Mesir
adalah masa Teokrasi (Pemerintahan oleh Allah). Sedangkan kita berada di masa Gereja
Lokal. Artinya Allah memerintahkan kita untuk membangun kerajaanNya melalui
gerejaNya dan bukan melalui pemerintahan. Gereja tidak pernah dianjurkan untuk
berpolitik.
4. Hampir
sebagian besar Caleg PDS adalah pendeta. Memang bisa dipahami pendeta-pendeta
tersebut minim pendidikan teologi. Itu sebabnya tawaran menjadi caleg dengan
cepat diambil. Sebagian mereka adalah bergelar Ir, dokter atau pendeta
pengusaha/pengusaha pendeta. Berarti ada banyak gereja lokal yang kehilangan
pendeta sebab secara otomatis seorang pendeta yang menjadi Caleg secara moral
melepaskan jabatan digereja. Ini membawa kekacauan di gereja lokal. Target
pemberitaan Injil diganti dengan target kampanye. Lalu kalau mereka tidak
terpilih apakah dengan mudahnya para Caleg pendeta tersebut kembali menjadi
pendeta?
5. Billy
Graham seorang pendeta yang dihormati pernah ditawari untuk menjadi Presiden
Amerika tetapi dia menjawab, “Kalau saya menjadi Presiden saya turun jabatan.
Dari hamba Tuhan menjadi hamba manusia.” Artinya Billy Graham menyadari betapa
kuatnya panggilan menjadi seorang hamba Tuhan bukan penggilan yang mudah
berubah karena kesempatan atau kesulitan hidup. Bukankah zaman sekarang banyak
pendeta yang beralih profesi?
Berbicara mengenai politik maka
tidak akan pernah habis-habisnya. Sebab akan sulit bagi kita untuk dapat
mendefinisikannya? Ada banyak teori tentang politik dan para pakar ilmu politik
pun menyebutnya sebagai ratunya ilmu-ilmu sosial (Political is The Queen of
Social Science) yang berkedudukan pada peringkat paling atas diantara
ilmu-ilmu sosial atau ilmu utama (The Master Science) khususnya
diantara kelompok ilmu sosial kemasyarakatan dan kemanusiaan).
Peter H Odegard dan David Easton, merupakan dua tokoh
yang menyebut dua hal diatas. Aristoteles memulai pembahasan bukunya “Politics”
(ditulis tahun 335), dengan kata-kata secara alamiah manusia adalah mahkluk
yang berpolitik”.Dalam bahasa aslinya atau (Latin/Yunani) disebut Zoon
Politicon dan dalam terjemahan bahasa inggrisnya disebut “Man is by
nature a political animal” yang dimaksud Aristoteles adalah politik merupakan
hakikat keberadaan manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Rudy, M (2007:01.)
Dalam kamus “Oxford” (of an action) Seeming sensible and judicious in the
circumstances (also politick) archaic (of a person) prudent and sagacious. Verb
(Politics, politicking, politicked) often as Noun politicking. Kamus bahasa
indonesia mengartikan politik adalah “ Pengetahuan tentang seluk seluk
ketatanegaraan”.
Ada hal yang keliru dalam hal berpolitik manakala
seseorang mulai mencampuradukan antara sisi politik dan agama. Tentu semua ini
akan berimbas pada kehancuran total. Menurut hemat saya seandainya kedua
hal tersebut dipadukkan maka akan berakibat fatal. Dalam dunia modern dewasa
ini acapkali seseorang tidak lagi berpikir panjang. Jarang berpikir lagi mana
yang baik dan buruk. Segala macam siasat pasti dilakukanya untuk meraup
keuntungan tanpa memikirkan resiko yang akan diterimanya. Padahal apabila
seseorang bisa menerapkan politik etis politeuma secara benar maka mereka bakal
terhindar dari ketamakan, keserakahan, keegoisan, dan sebagainya.
Dosa terselubung dalam dunia politik sulit diterka
mengapa? Lantaran penyamaran dari oknum tertentu yang ikut terlibat
konspirasi jahat sedang berkeliaran dimana-mana. Terkadang memakai
topeng serta sifat mereka seperti bunglon yang berubah-ubah bentuk dan warna.
Jika kita lengah maka mereka siap menerkam, siapa saja yang dijumpainya. Dalam
Alkitab Yesus pernah mengatakan satu hal yaitu “Apa yang kaisar punya
berikanlah pada kaisar”. Kalau dilihat secara objektif serta implisit
sebenarnya Yesus mengajarkan bagaimana politik yang benar atau manifesto
politik Yesus. Tapi yang menjadi penekanan-Nya seputar justice (keadilan), truth
(kebenaran), honestly ( kejujuran). Adakah seorang yang anda jumpai tanpa
dolat-dalit serta kebohongan dibibirnya.
Zaman sekarang jarang dijumpai lagi dengan politisi
yang berhati jujur dan bersih. Yang mau menderita demi rakyatnya dan lebih
memikirkan Rakyat ketimbang kepentingan pribadi ataupun golongan dan partai.
Semua ini lebih diakibatkan oleh ketamakan dan keserakahan dari manusia itu
sendiri. Mengapa di Indonesia orang beramai-ramai mendirikan partai. Tujuannya
paling tidak untuk mewujudkan ambisinya. Ada yang mengatakan bahwa politik itu
kotor. Menurut pandangan saya, seandainya seseorang berpolitik maka hal
itu sah-sah saja asalkan orang yang bersangkutan terhindar dari yang namanya
manipulasi, kapitalisme, konspirasi serta intrik-intrik politik. Saya coba
membagi beberapa hal pengertian tentang politik antara lain: pertama,
simbolysm political (politik simbol) misalnya seorang datang ketempat kumuh
berbaur bersama warga setempat lalu sama-sama mereka menyantap makanan bersama.
Dan si Anu melahap makanan yang biasa dimakan oleh si pengemis yaitu; nasi
akin. Kan hal ini kurang wajar jika orang ini mau makan nasi tersebut. Itulah
tipikal politisi pengusung politik simbol yang berpura-pura makan, namun
hanya ditempat itu saja. Dengan demikian masyarakat akan menduga bahwa si calon
tersebut memang memiliki perilaku yang baik, merakyat dan pantas untuk dipilih.
Sebenarnya ini sangat keliru. Tapi itu hanyalah sebatas intrik politik. Kedua,
gray political (politik abu-abu) Politik yang satu ini sangat sulit diterka apa
sebab? dimana ada semut disana Ia berada. Tipe orang seperti ini adalah
plin-plan tidak dapat memastikan siapa pilihannya ataupun siapa yang akan
dijadikan calon. Sangat sulit bagi penganut paham ini untuk memutuskan sesuatu.
Sikap yang dia miliki adalah sering memutar balikkan fakta yang ada. Ketiga,
restaurant political (politik restoran). Model politik yang satu ini
adalah mengajak seseorang dan iming-imingnya yakni makan di restoran ataukah
pembagian jatah makanan dos. Hal semacam ini banyak dilakukan oleh para calon
terhadap oreang-orang miskin serta mereka memilih tempat-tempat kumuh. Keempat,
sceptism political (politik skeptis), ada beberapa kelemahan dengan model
seperti ini. Oleh karena itu setiap pemilih memiliki kecenderungan negatif
tentang politik oleh sebab mereka sudah mulai jenuh dengan janji-jani politikus
yang hanya dibibir saja lips service. Persoalan ini sedang dialami oleh
masyarakat. Sedangkan yang kelima, money political (politik uang). Kalau money
politik bagi masyarkat Indonesia tidak asing lagi ataupun telah mendarah
daging. Penyebabnya ialah sudah dari dulu setiap ada pemilihan Presiden, kepala
daerah dan sebagainya maka ada kandidat yang menerapkan strategi politik uang.
Jadi sulit merubah tabiat orang Indonesia. Uang lebih mahal ketimbang harga
dari demokrasi. Bagaimanapun, apapun cara baik itu bersih dan kotor akan
dilakukan oleh setiap calon guna mencapai tujuannya yaitu “berkuasa”. Kata
money politic memang agak kurang sopan penyebutannya. Sebetulnya cost political
dana yang diberikan sesuai dengan kebutuhan. Politik sebetulnya berkibalat di
Eropah dan Amerika. Contohnya Amerika mulai dari Presiden pertama mereka
semuanya dipilih oleh rakyat. Dan rakyatlah yang menentukan siapa yang berhak
untuk memimpin. Justru berbeda dengan sistem perpolitikan di tanah air.
Sepertinya Negara kita merupakan Negara demokrasi. Tapi boleh saya katakan itu
keliru besar. Adakah dinegara demokrasi tapi penegakan hukum dan penanganan hak
asasi manusia (HAM) sangat lemah maupun jalan ditempat? Demokrasikah Negara
yang pemerintahan didalamya marak dengan kasus suap, politik uang, korupsi?
Sepatutnyalah pemerintah mulai memikirkan nasib bangsa ini mau dibawah
kemana? Apakah gerangan yang ada dibenak para pemimpin-pemimpin kita. Dewasa ini
politik telah merambah masuk kedalam Gereja. Dan ini jangan dibiarkan
berlarut-larut. Jadi jika hal demikian tidak cepat diantisipasi maka
ditakutkan kedepan akan sulit diatasi. Hal yang rancu yang saya pelajari ada
segelintir orang yang statusnya pendeta tapi ngotot menjadi anggota dewan
bahkan pimpinan partai. Dalam hal ini pemimpin Gereja harus tegas dalam
mengambil sikap. Terkadang tanggung jawab Gereja mulai luntur. Kalau mau
berpolitik bisa saja tapi untuk pendeta jemaat seharusnya dilarang. Kecuali, Ia
seorang dosen pada sekolah Teologia, maupun hanya pembantu digereja seperti
Syamas, penatua, dan sebagainya. Tugas pendeta sebetulnya mengurus jemaatnya,
mengayomi, memberikan pencerahan dan kekuatan iman bagi umatnya bukan membawa
jemaatnya kedalam politik praktis. Namun fenomena yang terjadi saat ini
pendeta menjadi politisi sedangkan sebaliknya politisi berubah statusnya yaitu
menjadi pendeta. Kan kedengarannya aneh jika seorang pendeta menukar jabatanya
hanya karena kekuasaan dan uang.
Dosa pertama, Mengadopsi Alkitab untuk
kepentingan politik. Hal tersebut pernah sempat terjadi beberapa waktu silam.
Kala Pilwako digelar di salah satu Kota di daerah kita. Ada seorang calon yang
melakukan proses ritual tersebut. Yang diadopsi ialah pembasuhan kaki.
Kronologis yang terjadi yakni si calon tersebut membasuh kaki dari
pendeta-pendeta. Jika didalam Alkitab yang terjadi adalah Yesus membasuh kaki
dari murid-murid-Nya tapi persoalannya ini terbalik. Si calon yang berani
melakukan proses tersebut. Paling tidak dengan melakukan metode seperti ini
paling akan meraih simpati dan dukungan dari pemilih khususnya dikalangan
Gereja. Justru hal ini sangat keliru, seharusnya pendeta yang sepantasnya
melakukan acara tersebut bukan si calonnya.
Dosa Kedua, Membagi-bagikan Sembako atas dasar
kasih tapi ada dusta dibalik itu. Namun secara tidak langsung Warga Gereja
telah ditipu. Kan tidak beralasan membagikan sembako atau diakonia kala
memasuki bulan kampanye. Kalau mau jujur orang yang identik dengan berbagi
kasih memilki maksud terselubung yaitu sebuah kata “KEKUASAAN”. Coba anda
pikirkan masakan membagikan sembako pada waktu jelang pilkada.
Sebelum-sebelumnya tidak pernah dilakukan.
Dosa ketiga, Menjadikan Pendeta menjadi Tim sukses.
Ini lagi yang cukup parah pendeta dijadikan sapi perah bahkan ada yang
dijadikan tim doa dan kerjaanya hanya mendoakan si Calon tersebut agar dapat
menang dalam Pilkada. Tapi lucunya si Pendeta ini juga mau-maunya menjadi tim
sukses. Bisa ditebak otomatis pelayanannya akan terbengkalai. Kita tidak
bekerja pada dua tuan. Antara pelayanan dan politik itu sangat jauh beda.
Acapkali ada juga pendeta juga yang terus-menerus mendoakan si calon walaupun
sudah terbukti koruptor. Sudah pasti iming-imingnya uang banyak. Tapi tugas
dari si Pendeta tersebut sudah melenceng. Bukan lagi jadi berkat malahan jadi
syah bagi banyak orang.
Dosa Keempat, Mengaku atas nama Tuhan. Ini lagi
yang luar biasa. Ada juga yang kerap membawa-bawa nama Tuhan contohnya: Tuhan
telah memilih saya, Tuhan telah berbicara pada saya agak maju sebagai calon?
Saya dapat penglihatan dari Tuhan, dalam nubuat nama saya yang disebut-sebut,
Dalam mimpi Tuhan berbicara agar saya maju dalam pilkada. Inilah dosa politik
yang terjadi dilapangan. Kita bagaikan dihipnotis. Ada contoh seperti ini,
bawa-bawa nama Tuhan tapi imbasnya tidak lolos verifikasi. Ini karena tidak
menggunakan rasional secara benar.
Dosa kelima, Memberikan amplop sebagai jasa.
Terkesan sungguh murahan jika hanya uang 50 ribu hingga kita terjebak dengan
politik uang atau politik praktis. Apakah Tuhan tidak mampu menolong umatnya.
Apakah ukuran Tuhan hanya dengan uang sebanyak itu? Memang kejatuhan setiap
pelayan Tuhan selain Wanita, kedudukan dan terakhir uang. Sudah jelas tertulis
akar kejahatan adalah cinta uang. Janganlah anda menjadi hamba uang. Memang
setiap orang ada porsi masing-masing. Jadi janganlah hanya karena uang tersebut
pada akhirnya pelayanan terbengkalai.
Dosa keenam, Mengadakan KKR berkedok dibalik nama
Tuhan. Hal ini sangat mengkwatirkan. Betapa tidak KKR yang seharusnya sakral
namun telah menjadi ajang pemenangan pilkada. Beberapa waktu lalu saya hadir
dan saya melihat dimana dalam acara tersebut hadir satu pendeta yang sangat
terkenal membawakan khotbahnya. Dan setelah itu pihak panitia memberikan selebaran
serta ada yang bertanda partai tersebut. Apakah ini yang namanya Kebaktian
Kebangunan Rohani (KKR)? Ataukah ada hal-hal yang lain.
Sungguh sangat disayangkan dosa-dosa rohani diatas masih saja terjadi pada
waktu pilkada. Ini menjadi pelajaran berharga harga nantinya kita terhindar
dari jebakan-jebakan politik yang akan menjerat kita. Berpolitiklah yang benar
yaitu politik etis bukan praktis.
Memang, gereja
ada dalam dunia tetapi ia tidak berasal dari dunia. Gereja adalah gereja dan
tidak pernah boleh menjadi yang lain! Dasarnya, panggilannya, tujuannya, lain
sama sekali dari partai-partai politik. Tetapi gereja adalah gereja hanya kalau
dalam seluruh eksistensinya menghadirkan diri, sebagai saksi-saksi hidup dalam
perkara dan perbuatan dari seluruh proses pelaksana rencana Kristus terhadap
manusia dan dunia. Ini mencakup segala-galanya. Sebab yang Kristus
terus-menerus kerjakan adalah pembangunan dunia baru, penciptaan manusia baru
dalam bidang kebudayaan, ekonomi, sosial dan politik. Pendek kata, menyangkut
manusia dalam seluruh totalitas kehidupan.
Memang ada
bahaya, bahwa yang terjadi di banyak tempat sekarang ini adalah gereja yang
sedang mau menyelamatkan wajahnya dari tuduhan sementara generasi muda, bahwa
gereja itu reaksioner dan ortodoks. Jadi semacam mencari-cari perkara, semacam
mode, supaya gereja tampak “revolusioner” dan tidak keluar dari hati nurani
yang jernih.
Gereja
sedapat-dapatnya tidak usah menentang pemerintah, malah wajib menghormatinya.
Membantu sekuat tenaga usaha pemerintah untuk mendatangkan kesejahteraan,
menegakkan keadilan dan kebenaran, serta membina masa depan yang lebih baik
bagi semua orang. Tetapi ketika kemanusiaan dikurangi nilainya, ketika
ketidakadilan semakin melembaga, gereja mempunyai keadilan yang tidak dapat
ditawar-tawar untuk dengan gamblang menyatakan arah yang benar, apa pun
resikonya.
Tentu bisa saja,
gereja menyembunyikan diri di balik tugas-tugas rohaninya di dalam menara
gading struktur religiusnya. Tetapi kalaupun begini, ini juga pilihan politis juga
namanya, cuma mencari aman bagi dirinya.
Peristiwa ini, Gereja Berpolitik terjadi tatkala Adolf Hitler sedang
meniti tangga menuju puncak kejayaannya. Ketika di negeri Jerman, lahir apa
yang dikenal dengan nama “die Bekennende” (Gereja yang mengaku) dengan “Barmnen
Thessen” (Asas-asas Barmen yang termasyhur. Termasyhur karena asas-asas ini
dengan gamblang terus-menerus dan amat berani menentang kekuasaan mutlak sang
penguasa (= fuhrer).
Niemoller, seorang pendeta dan salah seorang pemimpin Bekennende Kirche, konon, dipanggil menghadap Hitler, Goering, dan Gobells. Bertanyalah sang penguasa (=fuhrer), jawablah! Mengapa sekarang, pada saat saya berkuasa gereja mulai berpolitik? Niemoller menjawab, kesalahan nenek moyang tidak dapat kami teruskan, hanya demi kepentingan umum!”
Pada Agustus 1971 terjadi revolusi di Bolivia – Amerika Selatan. Jaime Bravo seorang Indian Aymara pertama yang diangkat menjadi pastor kepala distrik tertentu, ditangkap oleh pemerintahnya karena alasan-alasan subversif. Padahal yang dilakukannya tidak lebih hanya ini: Ia menolong rakyat yang buta huruf supaya rakyat dapat membaca. Ia menolong para petani supaya dapat mengolah tanah lebih baik. Ia menolong lapisan masyarakat yang sederhana, supaya mereka tidak mudah diperdayai dan dipresur oleh lapisan masyarakat lainnya.
Niemoller, seorang pendeta dan salah seorang pemimpin Bekennende Kirche, konon, dipanggil menghadap Hitler, Goering, dan Gobells. Bertanyalah sang penguasa (=fuhrer), jawablah! Mengapa sekarang, pada saat saya berkuasa gereja mulai berpolitik? Niemoller menjawab, kesalahan nenek moyang tidak dapat kami teruskan, hanya demi kepentingan umum!”
Pada Agustus 1971 terjadi revolusi di Bolivia – Amerika Selatan. Jaime Bravo seorang Indian Aymara pertama yang diangkat menjadi pastor kepala distrik tertentu, ditangkap oleh pemerintahnya karena alasan-alasan subversif. Padahal yang dilakukannya tidak lebih hanya ini: Ia menolong rakyat yang buta huruf supaya rakyat dapat membaca. Ia menolong para petani supaya dapat mengolah tanah lebih baik. Ia menolong lapisan masyarakat yang sederhana, supaya mereka tidak mudah diperdayai dan dipresur oleh lapisan masyarakat lainnya.
Lalu inilah yang
terjadi, ketika Uskup Arias berusaha membela Jaime. Penguasa Santa Cruz, konon,
berkata, “Uskup, persoalan sebenarnya amat sederhana. Selama pastor-pastormu
membatasi diri hanya mengerjakan perkara-perkara rohani semata-semata, kami
tidak mempunyai urusan apa-apa dengan mereka!” Uskup Arias menjawab, “Saya
masih percaya bahwa Anda tetap seorang Kristen. Dan Anda masih ingat, betapa
Yesus datang untuk ‘memberitakan kabar baik kepada orang-orang miskin’,
‘kebebasan bagi mereka yang ditawan’ dan ‘kelepasan bagi mereka yang ditindas.
Nah, apa yang dikerjakan oleh Jaime, tidak lain, hanya sekedar mengikuti
teladan Tuhannya”. Jaime Bravo dibebaskan, namun ia harus meninggalkan
negerinya.
Masih ada satu
lagi, yaitu Deklarasi Teologis Orang-orang Kristen di Korea, yang dikeluarkan
pada tahun 1973, sebagai upaya untuk menyatakan sikap melawan kebijaksanaan
Presiden Park Chung Hee dari Korea Selatan. Kami membuat deklarasi ini
mengatasnamakan persekutuan orang-orang Kristen Korea. Tetapi berhubung dengan kenyataan yang
berlaku sekarang ini, dimana satu orang saja yang mengendalikan seluruh kuasa
dari ketiga sendi pokok pemerintahan, serta menggunakan kekuatan senjata
semata-mata untuk menindas rakyat, kami ragu-ragu untuk menjelaskan siapa-siapa
yang menandatangani naskah ini. Kami terpaksa berjuang dan bergulat di bawah
tanah, sampai tercapai kemenangan kami.
Mengapa harus pernyataan yang sekeras itu? Jawab deklarasi itu antara lain: “Kami sebagai orang-orang Kristen, wajib berjuang untuk menhacurkan sistem yang tidak berperikemanusiaan dan tidak adil dalam bentuknya yang paling ekstrem ini. Oleh karena kami adalah saksi-saksi dari gerakan yang terus-menerus dari Kerajaan Mesianik di tengah-tengah sejarah, dimana orang-orang miskin akan diperkaya, orang-orang tertindas akan dibela dan perdamaian akan dinikmati oleh seluruh rakyat”. Contoh-contoh tadi, pasti dapat diperpanjang lagi. Uskup agung Yerusalem dijatuhi hukuman penjara duabelas tahun penjara oleh pemerintah Israel karena membantu Gerakan Pembebasan Rakyat Palestina. Di Filipina 300-an rohaniwan dan masyarakat Katolik dan Protestan mengarak patung ”Yesus memanggul salib” sebagai protes terhadap ketidakadilan pemerintahan Presiden Ferdinand Marcos.
Mengapa harus pernyataan yang sekeras itu? Jawab deklarasi itu antara lain: “Kami sebagai orang-orang Kristen, wajib berjuang untuk menhacurkan sistem yang tidak berperikemanusiaan dan tidak adil dalam bentuknya yang paling ekstrem ini. Oleh karena kami adalah saksi-saksi dari gerakan yang terus-menerus dari Kerajaan Mesianik di tengah-tengah sejarah, dimana orang-orang miskin akan diperkaya, orang-orang tertindas akan dibela dan perdamaian akan dinikmati oleh seluruh rakyat”. Contoh-contoh tadi, pasti dapat diperpanjang lagi. Uskup agung Yerusalem dijatuhi hukuman penjara duabelas tahun penjara oleh pemerintah Israel karena membantu Gerakan Pembebasan Rakyat Palestina. Di Filipina 300-an rohaniwan dan masyarakat Katolik dan Protestan mengarak patung ”Yesus memanggul salib” sebagai protes terhadap ketidakadilan pemerintahan Presiden Ferdinand Marcos.
Ada apa
sebenarnya dengan gereja? Gereja-gereja sudah semakin berminat menjadi kekuatan
politik sehingga sulit dibedakan dengan partai-partai? Pendeta-pendeta dan
pastor-pastor sudah lebih suka berdemonstrasi daripada mengerjakan
perkara-perkara rohani? Mimbar-mimbar gereja sudah mengalami degradasi, dari
bebicara tentang Kitab Suci menjadi pidato-pidato yang penuh agitasi? Ternyata
yang bertanya begitu bukan hanya Adolf Hitler, tetapi banyak orang Kristen
sindiri. Misalnya saja, di dalam Sidang Sinode GMIT XXXI di Alor Kalabahi tahun
2007 lalu. Pembicaraan berubah sangat hangat ketika dipersoalkan mengenai tanggungjawab
gereja dalam bidang sosial politik.
Ada yang dengan
cepat meneriakkan tanda bahaya! Bahaya, bukan saja karena ini dapat melibatkan
gereja ke dalam bahaya resiko politis yang sebenarnya “tidak perlu” terjadi;
tetapi juga bahaya kalau gereja hanyut dalam penyesuaian diri yang terlampau
lanjut. Memperoleh rasa aman, mungkin juga hidup dalam kemewahan, tetapi
sebenarnya melacurkan kesetiaannya kepada Tuhan. Apa pun bentuk praktik
politik, itu urusan pemerintah dan partai. Urusan gereja adalah beribadah
dengan setia kepada Allah. Tetapi ada pula yang dengan keras berkata: kita
tidak berhak untuk bicara tentang bahaya sebab selama ini gereja (GMIT) belum
pernah berbuat apa-apa yang berarti dalam bidang sosial politik! Bukan bahaya
yang harus dibicrakan sekarang, tetapi hutang-hutang tugas kita dalam bidang
ini yang belum dibayar, termasuk mendoakan sanak saudara kita yang menjadi
korban bom bunuh diri.
BAB
IV
PENUTUP
Kesimpulan
Secara teoritis telah dirumuskan bahwa politik adalah interaksi antara
pemerintah dan masyarakat, dalam rangka proses pembuatan dan pelaksanaan
keputusan yang mengikat tentang kebaikan bersama masyarakat yang tinggal dalam
suatu wilayah tertentu. Sebagai umat Kristen maka kita dituntut untuk mampu
menterjemahkan itu semua dalam perilaku kehidupan kita, dimana melalui Alkitab
secara komprehensif telah mengajarkan kita dasar Teologis bagi kehidupan
Kristiani dalam menyingkapi perilaku politik ditengah masyarakat keagamaan yang
bersifat majemuk, yang antar lain adalah :
1.
Allah sebagai Pencipta dan manusia sebagai ciptaan ,
sudah selayaknya agar umat kristen menyadari bahwa Allah memiliki kewenangan
yang mutlak atas hidup kita. Kehidupan kita sepenuhnya menjadi otoritas Allah,
dan kewajiban kita untuk mentaati dan memahami apa makna dari penciptaan
manusia ditengah dunia ini, termasuk keterlibatan kita dalam kehidupan
berpolitk di negeri ini. Oleh karena itu, pokok mengenai manusia sebagai
"daging" dan “imago dei” dapat menjadi dasar untuk pemahaman yang
membantu memotivasi kerukunan beragama.
2.
Umat Allah sebagai Pelayan Kebersamaan Manusia,
dimana kita terpanggil untuk menyadari jati dirinya, supaya dapat berkembang bersama
yang lain menuju keuniversalan manusia. Oleh karena itu pembinaan keumatan
dalam kehidupan poitik tidak dapat dilaksanakan terlepas dari pembinaan
kemanusiaan! Sebagaimana dalam Matius 7: 13 Yesus meringkaskan isi seluruh
hukum Taurat dan kitab para nabi sebagai berikut: "Segala sesuatu yang
kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada
mereka". Sebagai pelayan kita dituntut menjadi contoh yang baik bagi semua
orang ditengah-tengah keberadaan dan kehidupan kita masing-masing.
3.
Menurut kamu siapakah Aku ini? Gambaran kita
mengenai Kristus. Sebagai umat Kristen kita telah mengaku bahwa Kristus adalah
sekaligus Ilahi dan insani bersifat hakiki, artinya dalam konteks manapun kita
berada, pengakuan ini tidak dapat dikurangi, baik dari segi ilahinya maupun
dari segi insaninya. Sebagaimana dalam II Timotius 3:16 dikatakan secara tegas
kepada kita sebagai umat Allah bahwa bahwa Segala tulisan yang diilhamkan Allah
memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki
kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. Demikian halnya dalam
kehidupan politik, Alkitab adalah kamus utama dalam kita bertindak maupun
bersikap, sehingga gambaran Kristus dapat terpencar melalui tingkah laku dan
perbuatan kita.
4.
Makna Keselamatan dalam kehidupan bersama dengan
yang lain, adalah sesuatu yang amat sensitif bagi orang-orang Kristen di
Indonesia dalam percakapan yang berkaitan dengan kemajemukan agama-agama dan
kehidupan politk yang semakin tidak menentu saat ini. Namun kita telah yakin
bahwa dalam Injil Yohanes pasal 3: 16, telah ditegaskan bahwa Allah mengasihi
dunia ini, oleh karena itu Putra-Nya yang tunggal dikaruniakan-Nya kepada
dunia, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya mendapatkan keselamatan.
Tekanannya adalah pada "setiap orang yang percaya. Jadi percaya dulu,
barulah selamat". Keimanan kita sebagai umat Allah akan benar-benar diuji
dalam kehidupan kita, apalagi bagi kita yang menjadi bagian dari hiruk pikuk
politik di negeri ini. Akan ada tantangan bagi kita untuk tetap dan terus berpegang
pada firman Tuhan atau malah kita terjatuh dan menyerahkan iman percaya kita
kepada kepetingan duniawi.
Saran
Tugas
kependetaan itu adalah "panggilan." Tuhan "memanggil"
seseorang untuk tugas khusus untuk melayani "umat Tuhan" dan membawa
misi Tuhan masalah Pendeta jadi polotician adalah: prioritas komunitas yang
dilayani berbeda. kalau pendeta, prioritas pelayanannya adalah "umat
Tuhan," tapi kalau politician, prioritas pelayanannya adalah masyarakat
luas dan membawa misi partai. jadi pendeta yang memilih jadi politician itu
harus meninggalkan tugas kependetaannya. seorang pendeta yang memilih jadi
politician itu kemungkinannya ada 2: pertama, mengingkari panggilan
"kependetaannya," kedua, memang dari awal yang bersangkutan tidak
"dipanggil" oleh Tuhan untuk menjadi seorang pendeta.
DAFTAR PUSTAKA
1. Alkitab
(Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru,)
2. E.G.
Singgih, Hidup Kristiani Dalam Masyarakat Keagamaan yang Bersifat Majemuk,
3. Ramlan
Surbakti, Memahami Ilmu Politik
8.
Sumber: www.pgi.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar